Pengadaan BHP Praktikum (tulisan pertama)
Sampai munculnya berbagai kemudahan pengadaan barang/jasa dalam Perpres 54/2010 melalui Pengadaan Langsung, masih saja ada momok bahwa sulit untuk pengadaan BHP untuk kegiatan praktikum di setiap laboratorium yang dikelola oleh masing-masing jurusan di Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret.
Saya akan mulai adanya paradigma “SALAH” dalam penggunaan/alokasi dana praktikum. Semenjak dahulu hingga awal tahun 2012, ada paradigma/aturan tidak tertulis bahwa dana praktikum hanya untuk Bahan Habis Pakai (BHP) dan honor meskipun semua tahu bahwa UNS telah menjadi BLU tahun 2009. Kenyataannya, setelah mendapat penjelasan dari Staff Keuangan UNS, diketahui bahwa dana praktikum sangat fleksibel penggunaannya, bahkan untuk mendatangkan dosen tamu, workshop peningkatan kompetensi dosen dan laboran/asisten.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah… siapa yang sejak jaman dahulu membuat aturan tidak tertulis bahwa dana praktikum hanya untuk BHP ? Pertanyaan lebih lanjut adalah Siapa yang diuntungkan dengan paradigma/aturan tidak tertulis tersebut sehingga pengadaan BHP pada jaman dahulu semua mahfum selalu saja nilai barang lebih tinggi dari harga pasaran + pajak-pajak ? Maka tidak salah kalau saya mengambil asumsi bahwa “Penyedia” yang saya istilahkan adalah penyedia level 2 alias “broker” yang diuntungkan dari “Paradigma” bermasalah tersebut.
Kalau demikian, apa keuntungan bagi pengelola laboratorium dan jurusan/fakultas apabila dana praktikum cukup fleksibel untuk berbagai kegiatan penunjang lab dan praktikum ? Tentunya banyak manfaat, diantaranya adalah dimungkinkannya penggunaan dana praktikum untuk belanja modal seperti pembelian mesin atau peralatan praktikum yang selama ini dikatan “tidak boleh”. Manfaat lainya adalah pengelola laboratorium bisa mengadakan kegiatan workshop yang dapat menunjang kegiatan praktikum. Sebagai contoh, di tempat saya tentunya kedepannya bisa mengajukan Workshop menggambar mesin menggunakan So**dw**k yang pelatihnya bisa langsung dari Developer software atau lembaga profesional lainnya. Tentunya, masih banyak lagi fleksibilitas yang bisa diperoleh seperti alokasi untuk perawatan mesin-mesin (meski yang satu ini masih bisa panjang diskusinya terkait SPJ 🙂 ).
Apapun itu, saya ingin mengatakan bahwa perubahan paradigma yang saat ini tentunya muncul dari kegalauan “Panitia Pengadaan” yang kalau di FT adalah mas Y****to cs karena selama ini sering menandatangani dokumen pengadaan yang barangnya sudah ada (dibeli oleh masing-masing pengelola jurusan/lab), tapi dikatakan dalam dokumen pengadaan bahwa barang diperoleh melalui “layaknya pengadaan secara ideal”. Masalah yang kemudian muncul adalah ketika harga barang sangat jauh berbeda dengan harga pasar, sehingga bagaimana menjawab pemeriksa akan hal tersebut? kalau dinyatakan bermasalah, adakah yang mau turut bertanggung jawab selain orang-orang yang tanda tangan ? Apakah ingin terulang kembali tatkala dinyatakan bahwa barang-barang terlalu tinggi dan diharuskan mengembalikan uang ke pemerintah, lalu pimpinan akhirnya merogoh kocek sendiri untuk mengembalikan uang tersebut? Kalau terjadi kasus seperti dulu, maukah pimpinan merogoh kocek lagi? Bagaimana perasaan orang-orang yang diintrogasi (saat terjadi kasus kelebihan harga), sementara ada orang-orang yang merasa nyaman dengan mekanisme yang ada selama ini ?
Di akhir tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa perubahan paradigma penggunaan dana praktikum di atas belumlah cukup berdampak pada proses pengadaan. Hal ini akan saya tulis dalam tulisan ke dua.