Pengadaan BHP Praktikum (tulisan kedua)
Tulisan ini adalah bagian kedua yang ingin mengungkapkan bagaimana hendaknya pengadaan BHP, ATK, alat/mesin untuk kegiatan praktikum.
Diskusi yang ingin saya sampaikan adalah (1) Apakah pengadaan BHP, ATK, alat/mesin untuk praktikum bisa lebih ideal ketika sudah sedemikian fleksibelnya penggunaan dana praktikum?; (2) Apakah boleh pengadaan tersebut digabung dari beberapa praktikum atau dipecah untuk masing-masing praktikum?
Saya ingin mengawali kembali dari adanya “paradigma” atau “informasi yang mencerahkan” mengenai penggunaan dana praktikum. Setelah fakultas mengedarkan form isian RBA (Rancangan Biaya dan Anggaran) praktikum, makin terang benderanglah fleksibilitas dana praktikum yakni untuk kegiatan praktikum (honor, bhp, atk) dan penunjangnya baik berupa perawatan alat, pembelian alat hingga kegiatan yang menunjang kualitas praktikum seperti pelatihan, mendatangkan tentor dsb.
Pertama, apakah pengadaan BHP, ATK, alat.mesin untuk praktikum bisa lebih ideal dari sebelumnya? Pasti ada keingintahuan bagaimana sebenarnya proses pengadaan saat ini ? Sayangnya saya tidak akan membahas pada tulisan ini mengenai bagaimana proses saat ini karena ketika saya mengatakan tidak ideal, tapi bisa kebalikan bagi pengelola fakultas dan jurusan yang mengatakan saat ini adalah ideal. Sudut pandangnya emang berbeda, sehingga wajar apabila ada perbedaan pendapat. Saya sendiri tidak menyalahkan apabila kondisi saat ini harus terjadi.
Sudut pandang saya adalah sudah semestinya pengadaan BHP/ATK/Mesin/Alat mudah dilakukan karena adanya sistem pengadaan langsung yang akomodir Perpres 54/2010 (asumsi nilai pengadaan umumnya di bawah 100jt). Oleh karena praktikum sifatnya rutin, maka tidak sulit tentunya untuk mendapatkan rekap kebutuhan BHP/ATK/Mesin/Alat dari semua pengelola laboratorium. Data ini mestinya terkumpul pada tahun perencanaan (1 tahun sebelumnya), sehingga pada tahun anggaran, tinggal diupdate variabel tidak tetapnya seperti jumlah praktikan, harga dsb dan kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan pengadaan. Pengadaan bisa dilakukan di Februari/Maret sehingga tentunya tidak menghambat praktikum yang umumnya paling awal dilaksanakan pertengahan bulan Maret. Kalaupun dirasa susah melakukan lelang satu kali dalam 1 tahun, tentunya bisa dipertimbangkan untuk dilakukan secara semesteran.
Saya tidak dalam posisi mengkritisi bahwa pengadaan BHP/ATK/Mesin/Alat secara “real” menyusahkan untuk dilakukan sebagaimana pernyataan sejumlah pihak yang mengacu pengalaman masa lalu. Pada jaman dulu, akibat model pengadaan “real” maka pengelola laboratorium menerima sejumlah barang yang tidak dibutuhkan, kemudian maaf “barang” tersebut dijual untuk membiayai operasional dan pembelian barang praktikum yang benar-benar dibutuhkan. Mekanisme tersebut kemudian berubah sehingga laboratorium melakukan pembelian barang sendiri di awal, kemudian nantinya di SPJkan. Sayangnya SPJ tersebut diupayakan sedemikian sehingga mencapai nilai pengadaan barang praktikum yang harus diterima oleh jurusan, bukan berdasarkan nilai barang yang telah dibeli sebelumnya. Kondisi itu terjadi karena saat itu dibangun paradigma bahwa penggunaan dana praktikum sangat terbatas, yakni hanya untuk BHP/ATK dan honor2, tetapi tidak mengakomodir biaya pembelian alat, mesin, maintenance, pelatihan peningkatan kompetensi asisten/dosen dsb. Sebagai penutup ulasan saya yang pertama, saya masih berpendapat bahwa masih besar peluang mengadakan barang untuk praktikum lebih ideal seperti saya ulas di paragraf pertama (mohon maaf tidak detail).
Kedua, apakah boleh pengadaan tersebut digabung dari beberapa praktikum atau dipecah untuk masing-masing praktikum? Sebagian besar menjawab “TIDAK BOLEH” dan saya berbeda pendapat mengenai hal ini, alias “BOLEH”. Hal ini analog dengan kalau saya tanyakan apakah boleh pengadaan kertas/ATK untuk fakultas-fakultas dan universitas digabung menjadi 1 pengadaan ? Jawaban ini pernah dikeluarkan oleh salah satu staf ULP UNS yang baru terbentuk yakni juga “TIDAK BOLEH” sedangkan saya berpendapat “BOLEH”. Alasannya saya kurang paham mengapa semua cenderung menjawab tidak boleh, terus terang saya tidak bertemu langsung dan belum pernah berdiskusi secara langsung, disamping saya harus mengakui bahwa pemahaman saya dalam bidang pengadaan masih dangkal. …. Analogi mengapa saya berpendapat boleh akan saya sampaikan dalam tulisan bagian ketiga 🙂